Pages

Sabtu, 10 Oktober 2009

HATI RISAU MASYARAKAT



PENANGGULANGAN BENCA ALAM



PRINSIP BANTUAN PMI

Dalam melaksanakan program bantuan, PMI mengantu beberapa prinsip bantuan antara lain:1. Darurat Seperti peranan Perhimpunan Nasional Palang Merah di negara-negara lain, bantuan penanggulangan bencana yang diberikan kepada korban bencana bersifat darurat dan bersifat komplimen/tambahan untuk membantu pemerintah dalam meringankan penderitaan korban bencana (auxiliary to the government)2. Langsung Bantuan PMI harus diberikan secara langsung oleh tenaga PMI kepada korban bencana, tanpa perantara, sehingga dapat langsung dirasakan oleh para korban.3. Beridentitas Palang MerahUntuk memudahkan pengenalan, pengendalian, pengawasan dan untuk meningkatkan citra PMI, serta kepercayaan donatur, Petugas PMI dalam penanggulangan korban bencana harus memakai tanda Palang Merah (PMI). Hal ini juga dilakukan pada tempat, sarana dan fasilitas yang digunakan oleh PMI di lapangan.4. Materi BantuanBantuan PMI kepada korban bencana adalah dalam bentuk Material (pangan atau non-pangan) dan Jasa (pendampingan, konseling dan advokasi)

TATA PELAKSANA PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA

Di dalam melaksanakan tugas memberikan pertolongan dan bantuan kepada korban akibat bencana alam atau terjadinya konflik dilakukan oleh tenaga KSR dan TSR yang sudah terlatih di bawah komando PMI Cabang.
Setiap orang yang luka siapapun dia dan meskipun dia ikut serta dalam peristiwa kekerasan tersebut, dia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pertolongan pertama . Petugas harus menggunakan seragam Palang Merah dan harus mempunyai akses kepada semua pihak, karena petugas tersebut bersifat netral dan tidak memihak. Tugasnya hanya membantu semua korban tanpa perbedaan.
Apabila dampak dari kejadian bencana alam atau konflik tersebut mengakibatkan pengungsian penduduk yang memerlukan penanganan bersama, maka PMI Cabang harus meminta bantuan penanganan kepada PMI Daerah bahkan sampai ke tingkat pusat.
Untuk menjaga kemungkinan terjadinya bencana baik bencana alam maupun bencana konflik, di beberapa daerah yang rawan harus dibentuk tim khusus yang disebut SATGANA (Satuan Siaga Penanggulangan Bencana). Anggota SATGANA tersebut terdiri dari dari anggota KSR dan TSR yang sudah terlatih dengan pengetahuan khusus. KSR yang masuk ke dalam Tim SATGANA dapat berasal dari KSR Unit Perguruan Tinggi atau KSR Unit PMI Cabang yang terpenting dapat melaksanakan tugas setiap saat diperlukan.
Apabila penanganan korban/pengungsi tersebut sangat komplek dan tidak mungkin ditangani oleh PMI sendiri, maka PMI dapat meminta bantuan /dukungan kepada Palang Merah Internasional dalam bentuk permohonan bantuan ( disaster appeal) ditujukan kepada IFRC, dan kepada ICRC bila itu bencana konflik.
Apabila diperlukan , PMI Pusat dan Daerah dapat bekerjasama dengan ICRC atau IFRC untuk membentuk sebuah tim khusus yang bertugas dalam kurun waktu tertentu hingga unsur PMI setempat mampu mengambil alih tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Tim Khusus tersebut. Anggota Tim Khusus dapat direkrut dari unsur-unsur pengurus PMI, staf senior (Pusat, Daerah maupun Cabang), KSR terlatih dari lintas daerah dan KSR PMI Cabang setempatSecara umum, ada tiga fase dalam langkah-langkah penanggulangan bencana, yaitu fase prabencana, fase saat bencana terjadi, dan fase pasca- bencana. Dalam hal bencana tsunami yang menimpa Aceh (juga sebagian Sumatera Utara), dari ketiga fase ini, menurut pengamatan penulis, baru pada fase ketiga media massa umumnya memberikan perhatian penuh. Media massa mengerahkan kru dengan kekuatan ekstra untuk diterjunkan ke lapangan maupun sebagai "jangkar" di markas besar. Laporan para awak media massa ini diterbit- kan/disiarkan dengan frekuensi yang tinggi, mengabarkan hampir semua aspek penting yang terkait dengan bencana ini.
Hasilnya pun patut disebut positif (terlepas dari sejumlah liputan, terutama media televisi, yang bisa dikategorikan sebagai melanggar etika jurnalistik berkaitan dengan disturbing images alias gambar-gambar yang menusuk hati) karena berhasil menggerakkan emosi bangsa untuk ikut merasakan derita para korban, lalu mengulurkan bantuan konkret guna meringankan derita itu. Liputan luas media massa ini juga berhasil mempertemukan sejumlah keluarga yang semula tercerai-berai tak berkabar. Namun, keterlibatan media massa pada fase ketiga ini bisa juga berbuntut negatif apabila dijalankan tanpa pertimbangan yang ekstra hati-hati, antara lain kecenderungan untuk menjadikan derita para korban sebagai "jualan", entah untuk kepentingan bisnis murni atau bisa pula demi kepentingan lain, seperti keuntungan politik dan pencitraan diri.
Untuk fase kedua, kinerja media massa Indonesia masih mengecewakan. Bencana ini terjadi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, tetapi sebagian besar media massa Indonesia baru memperoleh informasinya dengan agak lengkap sekian jam kemudian. Memang ada sejumlah media, misalnya saja detik.com yang telah memberitakan peristiwa ini sejak pukul 08.30 di bawah judul "Gempa Berkekuatan Besar Guncang Medan". Baru pada pukul 10.11, detik.com memberikan informasi yang menyebutkan Aceh sebagai kawasan yang terkena bencana (di bawah judul "Banjir Bandang Landa Aceh").
Televisi Indonesia kelihatan tak sigap memberikan respons. Metro TV termasuk yang paling awal memberitakannya, tetapi itu pun terpaut cukup jauh sesudah peristiwa terjadi. Sejumlah televisi lain seperti tak begitu menaruh perhatian, dan baru sore hari bahkan malam harinya mulai agak gencar memberitakan bencana itu. Ada juga televisi yang baru memberitakannya sebagai breaking news pada pukul 22.00, sudah amat sangat terlambat dan sama sekali tak layak lagi disebut sebagai breaking news. Padahal berita ini sudah disiarkan oleh BBC dan CNN sejak menjelang tengah hari. BBC, menurut penulis, merupakan media yang terdepan memberitakan bencana ini, bahkan sudah memaparkan sejumlah data penting sebagai kelengkapan beritanya, misalnya saja data jumlah penduduk di wilayah yang terkena, juga peta yang relatif lengkap untuk memudahkan pemirsa membayangkan besaran bencana.
Keterlambatan media siaran dalam memberikan respons terhadap peristiwa-peristiwa penting, seperti bencana alam, agak sulit diterima. Dalam saat-saat genting seperti itu, hanya media siaranlah yang menjadi andalan utama masyarakat karena media cetak dan media on-line memiliki keterbatasan dari segi waktu maupun aksesibilitas.
Sosialisasi berkelanjutan
Media massa bahkan lebih abai lagi untuk urusan fase pertama, yaitu fase prabencana. Padahal, justru fase ini sangat berperan dalam menyediakan informasi-informasi dasar yang akan menjadi pegangan masyarakat saat berhadapan dengan bencana alam. Informasi yang disebarluaskan melalui media secara rutin dan berkala merupakan alat pendidikan informal bagi masyarakat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan bencana alam, termasuk cara-cara dasar dan praktis menghadapinya. Salah satunya adalah ihwal sederhana seperti gejala menyurutnya air laut menjelang datangnya tsunami seperti disebutkan di awal tulisan ini.
Informasi yang disediakan oleh media massa ini akan menjadi semacam peringatan dini bagi masyarakat, yang mengingatkan mereka secara terus- menerus bahwa mereka berdiam di wilayah yang rentan bencana, dan harus bersiaga setiap saat untuk menghadapinya. Media massa juga bisa memfasilitasi diskusi publik mengenai kesiapan menghadapi bencana dan bagaimana cara meresponsnya.
Peran media massa sebagai alat penyebarluasan informasi yang utama menjadi sangat penting dalam penanggulangan bencana. Sejumlah pakar, di antaranya Stephen Rattien, menyebutkan bahwa komunikasi, terutama komunikasi melalui media massa, merupakan sesuatu yang sentral dalam upaya menyelamatkan banyak nyawa manusia serta juga mengurangi penderitaan dan kerugian yang besar secara ekonomi.
Dalam bencana alam yang sulit diramalkan seperti halnya tsunami, agak sulit pula bagi media massa untuk memberikan peringatan dini. Namun, jika proses sosialisasi informasi tentang tsunami ini dilakukan secara berkelanjutan, masyarakat akan terus-menerus diingatkan mengenai ancaman bencana dan akan lebih sigap dalam memberikan respons. Misalnya saja, masyarakat bisa mengidentifikasi lokasi-lokasi yang memiliki ketinggian berlebih, entah di rumah para tetangga yang bertingkat atau di daerah perbukitan, sebagai tempat yang dituju saat menyelamatkan diri.
Sayangnya, tak banyak media yang dengan sadar dan sukarela melakukan proses sosialisasi seperti ini. Untuk Indonesia, ada beberapa media cetak yang cukup rajin melakukan upaya ini, misalnya saja Kompas dan Ko- ran Tempo, dengan menggalang informasi secara berkala dari para pakar bencana, atau lembaga-lembaga resmi yang bertanggung jawab mengurusi masalah ini. Akan tetapi, untuk radio dan televisi, upaya sosialisasi semacam ini masih jarang terdengar. Kedua jenis media ini biasanya memberitakan bencana hanya pada saat-saat bencana terjadi atau memberikan peringatan ketika bencana sudah sangat dekat di depan mata.
Sebuah studi yang dilakukan di Puerto Riko beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa keengganan sebagian besar media (terutama media siaran komersial milik swasta) melakukan sosialisasi berkelanjutan ini terkait dengan hitungan bisnis. Pihak berwenang dalam urusan bencana di negeri itu telah menyiapkan rekaman video dan audio yang berisi materi sosialisasi bencana, dan sudah dikirimkan ke sejumlah media penyiaran. Namun, pihak media menilai materi untuk keperluan sosialisasi itu tak sedramatis dibandingkan jika bencana itu benar-benar terjadi, atau dengan kata lain: tidak bisa mendatangkan uang. Media siaran tak mau menyediakan jam siar secara gratis karena itu sama artinya dengan mengurangi jam yang sebetulnya bisa dijual kepada pengiklan. Dalam kondisi seperti
ini, salah satu andalan utama sumber informasi masyarakat adalah radio komunitas.
Bencana tsunami yang menyisakan derita panjang ini hendaknya dapat dijadikan titik tolak bagi media massa, khususnya media siaran, untuk meninjau ulang kebijakan pemberitaan mereka mengenai bencana alam. Sudah saatnya media massa menempatkan informasi tentang bencana alam sebagai salah satu prioritas utama sejak dari fase pra-bencana. Mungkin benar bahwa kebijakan seperti ini tidak mendatangkan keuntungan yang nyata. Namun, ia akan berperan sebagai bagian penting dari langkah pencegahan. Sebagaimana dikatakan Sekjen PBB Kofi Annan, "Strategi pencegahan yang lebih efektif tidak hanya akan menyelamatkan biaya puluhan miliar dollar, namun juga puluhan ribu jiwa…. Membangun sebuah budaya pencegahan tidaklah mudah. Biayanya harus dibayar saat ini, padahal keuntungannya baru akan kita petik jauh di masa datang."

Bencana alam yang terjadi


yang terjadi di sumatra

GENPA YANG MELANDA SUMATRA

GENPA YANG MELANDA SUMATRA


skala Richter berselang sekitar dua jam. Gempa kedua terjadi pada koordinat 0,490° LS, 100,529° BT pada kedalaman 30 km, pada jRangkaian gempa

United States Geological Survey (USGS) mencatat terjadi dua gempa berkekuatan masing-masing 6,4 dan 6,3 skala Richter berselang sekitar dua jam. Gempa kedua terjadi pada koordinat 0,490° LS, 100,529° BT pada kedalaman 30 km, pada jarak 55 km timur laut Padang. Sembilan jam kemudian USGS mencatat gempa ketiga pada koordinat 0.287° LS, 100.605° BT. Intensitas gempa susulan ini lebih rendah, dengan magnitudo 4,9[1] [2][3].

Badan Meteorologi dan Geofisika melaporkan tiga kali gempa. Gempa pertama berkekuatan 5,8 pada skala Richter terjadi di koordinat 0,480° LS, 100,370 BT pada kedalaman 33 km dengan lokasi 19 km selatan Kota Bukittinggi.Gempa kedua berkekuatan 5,8 SR pada koordinat 0,5 LS dan 100,4 BT di sebelah barat daya Batusangkar, terjadi pukul 10.49. Gempa ketiga, dengan pusat gempa tak jauh dari gempa sebelumnya, memiliki koordinat 0,5 LS dan 100,5 BT berkekuatan 5,8 SR pada pukul 12.49.[4]

Menurut kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Padang Panjang pada hari kedua, untuk jumlah gempa yang terjadi mencapai 226 kali. Pada hari Kamis 8 Maret 2007 sampai tengah hari terjadi 45 kali gempa dengan intensitas antara 3,3 skala Richter hingga 4,2 skala Richter.[5]

Gempa di daerah Tanah Datar merusak baik bangunan warga, sekolah, perkantoran dan rumah ibadah. Untuk rumah rusak berat 3.110 buah, rusak sedang 3.437 buah dan rusak ringan 3.551 buah. Untuk Sekolah rusak berat 68 buah, rusak sedang 30 dan rusak ringan 40. Untuk Kantor rusak berat 18 buah, rusak sedang 9 buah dan rusak ringan 10 buah. Untuk Masjid/Mushalla rusak berat 74 buah, rusak sedang 28 buah dan rusak ringan 48 buah.[9]

Di Kota Padang Panjang data di Posko Penanggulangan Gempa 11 Maret 2007 menunjukkan fisik bangunan yang rusak bernilai sekitar Rp146,1 M. Kerusakan rumah penduduk Rp94,2 M dengan rincian 707 rusak berat (RB), 1,519 rusak sedang (RS) dan 1.843 rusak ringan (RR). Gedung kantor pemerintah yang rusak senilai Rp12 M (2 RB, 11 RS dan 25 RR). Sarana pendidikan SD negeri Rp 12,3 M (26 RB, 5 RS dan 14 RR), SMTP/SMTA/PT negeri dan swasta Rp 16,5 M (13 RB, 7 RS dan 13 RR). Sarana kesehatan Rp 2,5 M, rumah ibadah Rp 1 M, jalan Rp 5M. [10]arak 55 km timur laut Padang. Sembilan jam kemudian USGS mencatat gempa ketiga pada koordinat 0.287° LS, 100.605° BT. Intensitas gempa susulan ini lebih rendah, dengan magnitudo 4,9[1] [2][3].

Badan Meteorologi dan Geofisika melaporkan tiga kali gempa. Gempa pertama berkekuatan 5,8 pada skala Richter terjadi di koordinat 0,480° LS, 100,370 BT pada kedalaman 33 km dengan lokasi 19 km selatan Kota Bukittinggi.Gempa kedua berkekuatan 5,8 SR pada koordinat 0,5 LS dan 100,4 BT di sebelah barat daya Batusangkar, terjadi pukul 10.49. Gempa ketiga, dengan pusat gempa tak jauh dari gempa sebelumnya, memiliki koordinat 0,5 LS dan 100,5 BT berkekuatan 5,8 SR pada pukul 12.49.[4]

Menurut kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Padang Panjang pada hari kedua, untuk jumlah gempa yang terjadi mencapai 226 kali. Pada hari Kamis 8 Maret 2007 sampai tengah hari terjadi 45 kali gempa dengan intensitas antara 3,3 skala Richter hingga 4,2 skala Richter.[5]

[sunting] Dampak

Bencana gempa bulan Maret 2007 ini telah merusak bangunan milik pemerintah dan warga, serta menyebabkan jatuhnya sejumlah korban tewas dan luka-luka. Jalan Padang-Bukittinggi dan Padang-Solok sempat macet karena tertimbun tanah longsor.

Selain itu gempa tersebut diperkirakan memicu aktivitas Gunung Talang[6]. Sebuah ngarai baru di nagari Gunung Rajo diperkirakan terbentuk akibat gempa.[7]

[sunting] Korban

Jumlah korban tewas dalam bencana ini pada tanggal 6 Maret dilaporkan mencapai 70 orang. Namun pada hari berikutnya Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi meralat jumlah korban menjadi 52 orang, dengan alasan beberapa korban dihitung ganda.

DANAU TOBA MAU MELETUS

DANAU TOBA MAU MELETUS

Toba, kata Cas, terakhir kali meletus sekitar 73 ribu tahun silam. Letusannya amat luar biasa sehingga mengubah iklim dunia saat itu. ''Letusannya mengibatkan hujan debu dan batu hingga 1.000 kubik kilometer ke atmosfir. Akibatnya, sinar matahari jadi terhalang masuk ke bumi dan menyebabkan bumi seolah kembali ke zaman es,'' kata pak profesor Cas.

''Letusann ya hanya bisa ditandingin oleh asteroid raksasa yang menghantam bumi,'' tambah cas, seolah mengingatkan kita pada film Armagedon yang dibintangi Bruce Willis.

Toba bisa begitu karena, sama seperti sudah dibilang Profesor Mac Clousky ketika bicara akan datangnya gempa yang membela dua Banda Aceh, karena di bawahnya ada jalur patahan gempa yang berwujud seperti garis tengah Sumatera.

Kapan letusan maha dahsyat itu bakal terjadi? ''Yang pasti, ia akan terjadi. Mungkin kurang dari 50 tahun, atau mungkin 1.000 tahun lagi. Pokoknya, ia akan meletus,'' sahut Cas.

Bukan hanya Toba, di negara lain pun bibit-bibit gunung berapi raksasa sudah banyak ditemukan. Mulai dari Itali, Amerika Selatan, Amerika Serikat, sampai Selandia Baru. Saat ini yang sudah matang dan siap beraksi adalah Gunung Taupo di Selandia Baru.

''Taupo punya siklus letusan 2.000 tahun sekali, dan tepat 2.000 tahun yang lalu ia sudah meletus,'' kata Cas, mengisyaratkan Gunung Taupo bakal meletus dahsyat tahun ini juga.

Letusan aneka gunung berapi itu, lanjut Cas, bisa menewaskan ratusan ribu dan bahkan mungkin juta orang. Juga ia akan membawa dampak serius bagi iklam, cuaca, dan produksi pangan.

'Sayang nya, kata Cas, ''gunung-gunung yang berpotensi meletus itu sekarang justru tidak di monitor dengan serius atau selayaknya. Kita mestinya belar dari pengalaman buruk gempa dan tsunami di Aceh,'' tandas Cas. ©

Kamis, 30 Juli 2009

Hati Ibu - Cerpen Hari Ibu

Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.
Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.
Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.

“Ibu,” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ibu,” ulangku.
Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan ibu.
Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.

“Dira mau hadiah apa?”
“Dira minta dibelikan sepeda motor,” suara Dira, kakakku.
“Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.
“Dengan atau tanpa persetujuan ayah Dira harus punya motor,” Dira ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar. “Ibu, dari mana?” tanyaku.
“Dari MP. Dira juara satu lomba fashion di Mall Pekanbaru,” kata ibu dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil menyalami Dira.

“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di tanganku.
“Farah juara dua lomba menulis cerpen antar fakultas,” kataku.
Ibu diam.
“Boleh di pajang di lemari depan, Bu?”
Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Dira,” tegas ibu.
Ada perih di ujung hatiku.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost Ummu, teman serujusanku. Jarak kost Ummu hanya beberapa meter dari kampus.
“Sudah bilang sama ibu mau nginap di sini?” tanya Ummu.
Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu.”

“Ibu baru ribut kalau Dira yang hilang.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entah,” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Ummu. Diam-diam kuseka mataku yang basah.

***

Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.
“Ummu, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi,” kataku setelah beberapa hari berselang.
“Aku boleh saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke ortu,” sahut Ummu.
“Tak perlu, Mu.”

Melihat kerasku Ummu tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Dira, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Dira tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Dira. Ketika tiba di rumah Dira disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.
“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.

“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa saya baru dihubungi sekarang?” potongku.
“Nomor non Farah tidak bisa dihubungi dari kemarin.”
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.

Saat tiba di ruangan icu kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.
“Ibu sakit apa?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.
“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”
“Lalu…” kejarku tak sabar.

Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”
Aku merinding mendengarnya.

***

Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.
Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.
“Farah,” ucap ibu.

Aku tak yakin pada pendengaranku.
Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Dira dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.
“Jangan!” cegah ibu.
Aku berbalik.

“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”
Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.
“Ibu tahu kau cemburu pada Dira. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.

“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Dira,” kata ibu dengan mata bertelaga.
Aku diam saja.
“Jika perhatian ibu lebih besar pada Dira karena menurut ibu Dira tak sekuat kau.”
“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya,” ucap ibu diantara isaknya.

Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.

***

Hari ini 28 Desember. Hari jadi ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Dira lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga ibu dari atas, “Selamat ulang tahu, Bu,” bisikku.

* Desi Sommalia Gustina
Mahasiswi UIR, Pekanbaru.

Riau yang Risau

Sebentar lagi ada Pilgub di Provinsi Riau. Sebagai anak Riau yang kembali Risau sungguh pedih membayangkan ambisi para cagub dan kehidupan anak Sakai. Kedaulatan atas kesejahteraan yang selama ini dijajah, harus tetap menjadi inti perjuangan dan ‘harga mati”. Sebagai pihak yang terciderai oleh kekejaman politik, saran saya mari pilih pemimpin Riau yang bijak. Rayuan semanis apapun itu bukan jamannya lagi, karena di Riau masih banyak terdapat anak petani, anak nelayan, anak penyadap karet, penggali pasir dan pencari kayu bakau yang belum bersekolah, terbaring karena menderita ISPA akibat asap dan limbah sungai Siak…..

Pesta demokrasi tersebut akan di helat pada akhir September 2008 mendatang. Tepatnya akhir menjelang berakhirnya bulan suci ramadhan 1429 Hijriah. Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan dipilih Rakyat Riau untuk memegang teraju kepemimpinan di negeri yang dikenal kaya akan bahan baku minyak bumi dan minyak sawit itu ?

Pilkada Gubernur (Pilgub) di Riau diikuti 3 pasang calon gubernur. Calon yang bersaing tersebut pasangan mantan gubernur Rusli Zainal-Mambang Mit (RZ-MM), Thamsir Rahman-Taufan Andoso Yakin (Tampan), dan mantan Ketua DPRD Riau, drh Chaidir-Suryadi Khusaini(CS).

Melihat asal usul masing-masing calon pada Pilgub Riau 2008, contents lokal tampaknya lebih mendominan pada wajah calon elite Riau Satu. Rusli Zainal asli Inhil, Thamsir lama bercokol di Indragiri Hulu, sementara drh Chaidir adalah anak watan yang di dilahirkan di Pemandang, dusun kecil di Kecamatan Rokan IV Koto, Rokanhulu.

Jadi, saya yakin, pada Pilgub Riau, isu putra daerah dan non putra daerah takkan berkembang seperti pengalaman pada Pilkada Provinsi Kepri 4 tahun silam.

Bila ditengok data daftar pemilih tetap KPUD Riau, jumlah rakyat yang akan mengikuti Pilgub di Riau sebanyak 3.205.849 orang. Penduduk pemilih sebanyak itu tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten dan 2 Kota masing masing, kabupaten Kampar (415.344 jiwa ), kabupaten Pelalawan (213.399 jiwa), kabupaten Rokan Hulu (265.686 jiwa) , kabupaten Rokan Hilir (507.303), Kabupaten Siak (313.842 jiwa), Kabupaten Bengkalis (1,25 juta), Kota Dumai (162.449 jiwa), Kota Pekanbaru (717.000 jiwa ) , Kabupaten Kuantan Singingi (221.676 jiwa), Kabupaten Indragiri Hulu (50.000 jiwa), dan Kabupaten Indragiri Hilir ( 624.450 jiwa).

Berkaca pada angka penduduk diatas, lima lumbung suara terbanyak terdapat di Kabupaten Bengkalis, Kota Pekanbaru, Indragiri Hilir, Rokan Hilir, dan di Kampar. Bicara kharismatik masing-masing calon, antara Rusli, Thamsir dan Chaidir, masing-masing punya pesona di mata Rakyat. Kekuatan Rusli tampaknya di topang penuh oleh personal Mambang Mit, birokrat berlatar belakang ekonomi, dikenal santun dan pernah menduduki jabatan strategis yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) di Pemko Batam.

Bicara peluang, pengaruh Rusli Zaenal - Mambang Mit (RZ-MM) tampaknya dibayangi oleh sosok kharismatik Chaidir. Sebagai tokoh tua di Golkar, kubu Rusli dianggap tak sepaham dengan kelompok tua Golkar. Asal usulnya karena kasus Saleh Djasit dan Tengku Azmun Jaafar. (ikutan polling pilgub riau)

Peluang Rusli kuat, karena wakil Chaidir dan wakil Thamsir Rahman yaitu Topan Andoso Yakin dan Suryadi yang merupakan figur sentral masyarakat Jawa di Riau, ikut pula bertarung pada lapis kedua yaitu membidik kursi wakil Gubernur Riau. Dengan kondisi ini, besar kemungkinan suara warga Jawa di Riau terpecah belah. Lantas bagaimana dengan suara PKS Riau ?

Karena Wan Abu Bakar bersiteru dengan Rusli Zaenal soal ilegal logging yang sempat panas dan merenggangkan hubungan keduanya di masa bersatu memimpin Riau diyakini mesin politik PPP Riau akan terkecai.

Sebagai anak manis, suara kader PKS diprediksi banyak lari ke kubu Chaidir yang dikenal intelek oleh kelompok muda Riau. Sebagai tokoh PPP, dengan menjadi Plt Gubernur Riau, Wan Abu Bakar punya banyak peluang untuk mewujudkan obsesi politiknya.

Dari aspek kewilayahan, Rusli tampaknya hanya akan didukung oleh kubu Inhil. Inhu yang notabene “kampung” Thamsir dan Mambang Mit, suara yang ada tak bisa di andalkan kecuali di Kuantan Singingi. Sama halnya dengan suara pemilih di Pekanbaru. Bisa saja orang minang di Riau, tak lagi mendukung Rusli seperti pada pemilihan Gubernur Riau yang lalu. Di Kabupaten Kampar, kalau suara PAN yang notabene didukung kelompok Muhammadiyah kuat, kubu Rusli pasti akan keteteran mencari suara di kota yang berjuluk; Serambi Makkah Riau itu.

Di Bengkalis sebagai lumbung suara teratas pada Pilgub Riau 2008, tampaknya faktor gagalnya pemekaran Kabupaten Meranti dan Kabupaten Mandau menjadi batu sandungan paling fatal dalam karir politik Rusli Zaenal-Mambang Mit (RZ-MM). Sekedar catatan , di Rohil sekarang berkembang istilah baru, “Asal Jangan Rusli”.

Hanya Dumai yang bisa di andalkan Golkar yang mengusung RZ-MM. Tapi di Siak terutama Perawang, pendukung Suryadi takkan tinggal diam untuk memenangkan pasangan Chaidir dan Suryadi (PDI-Perjuangan). Begitu pula di Rohul dan Rohil. Chaidir akan berperan, karena dia budak Rohul yang diyakini bisa mengajak warga Rohil untuk bergabung memenangkannya.

Sementara orang Kepri di Riau mungkin cenderung memilih Rusli dan Mambang Mit, karena keduanya telah berjasa terhadap pembentukan Provinsi Kepri semasa Rusli menjadi Gubernur dan Mambang sebagai Setda Kota Batam.

Di Kepri, bekas wilayah propinsi Riau, peluang Chaidir lemah karena sewaktu menjadi ketua DPRD Riau, Chaidir dianggap tidak pro dengan perjuangan masyarakat Kepri untuk membentuk provinsi sendiri.

Hanya saja, senator Riau itu dinilai berkelas di riau daratan karena memiliki kemampuan intelektual yang lumayan bagus. Ia rajin menumpahkan kegelisahaannya terhadap Riau melalui kumpulan buku yang ia tulis. Chaidir pun dikenal sebagai kalangan intelektual muda, jebolan dua universitas ternama di Australia.

Sedangkan Thamsir Rahman, ia lama menjadi bupati Inhu. Sepak terjangnya di hormati oleh kalangan pejabat di Riau karena terbilang senior di birokrasi.

Tak Perlu Pangkat Tinggi

Sedari kecil, saya masih ingat pesan orang tua saya. Menurut mereka yang hanya berijazahkan SD, setinggi apapun pangkat, gelar atau jabatan, keelokan budi harus di nomorsatukan. Dan hari ini orang Riau yang mulai dikenal “kaya” butuh itu. Kedaulatan atas kesejahteraan yang selama ini dijajah, harus tetap menjadi inti perjuangan dan ‘harga mati”. Selama ini, karena Riau terlalu dinamis dengan doktrin “otoriter” ubun-ubun orang “Riau yang selalu Dihisap” hingga lunglai.

Kepada para calon Gubernur yang tengah bersimpati kepada Rakyat, Pilkada sebenarnya tak cukup dengan memajang janji manis pada baliho ukuran all big size di setiap perempatan dan simpang jalan. Rayuan semanis apapun itu bukan jamannya lagi, karena di Riau masih banyak terdapat anak petani, anak nelayan, anak penyadap karet, penggali pasir dan pencari kayu bakau yang belum bersekolah, terbaring karena ISPA dan menderita akibat limbah di sungai Siak.

Sebagai anak Riau yang kembali Risau sungguh pedih membayangkan ambisi para cagub dan kehidupan anak Sakai. Terpinggirkan di antara sambungan pipa minyak mentah yang dialirkan dari ribuan sumur minyak yang di kelola PT Pertamina dan perusahaan minyak asing. Belum lagi, kisah pilu suku kubu yang hidup merana karena luasan hutan Riau yang mulai menipis. Oleh karenanya, sebagai pihak yang terciderai oleh kekejaman politik, saran saya mari pilih pemimpin Riau yang bijak. Bak bidal orang tua, Raja zalim jangan lagi disembah. (*)

Sabtu, 25 Juli 2009

gak perlu di inngat

“Dari mata turun ke hati”. Kalimat itu kayaknya udah familiar banget di sekitar kita. Sama halnya dengan cinta pertama. Berawal dari melihat, eh taunya malah kepikiran. Nggak heran kalau cinta pertama yang berawal dari mata turun ke hati itu memiliki cerita tersendiri di nadi kehidupan setiap insan manusia. Jelas dong, namanya juga pertama, semua terjadi secara pertama.

Banyak yang percaya tentang adanya cinta pertama (87,3 persen). Itu bagi yang telah merasakannya dan bagi yang belum kecipratan rasa cinta pertama tentunya pada masih belum yakin (12,7 persen).

Percaya atau nggak, banyak sobeX yang nggak ingin mengingatnya alias no comment (39,7 persen). Tapi tentu bagi yang memiliki cerita indah, cinta pertamanya begitu mengesankan (31 persen). Bagi yang menganggap cinta pertama hanya sebuah pelengkap cerita hidupnya, kesan cinta pertama pun terasa begitu biasa aja (16,3 per sen).

Salah seorang siswa SMP Negeri 8 Pekanbaru M Raisman pun turut memberi komentar tentang pengalamannya. Ia sangat percaya tentang adanya cinta pertama, sebab dia pernah merasakannya.

“Aku percaya ada cinta pertama. Pacar aku sekarang, itu cinta pertamaku,” ucap cowok penggemar daging panggang ini.

Meski percaya dengan adanya cinta pertama, tapi buat cowok yang duduk di bangku kelas IX ini, cinta pertama itu tidak mengesankan alias biasa aja. Kok gitu? “Aku merasa memang biasa aja, mungkin karena aku mendapatkan dia terlalu cepat dan tidak banyak perjuangan. Kebetulan dia juga menyukai aku. Jadi, ya biasa aja rasanya,” ungkapnya.

Permainan Tradisional di Sekolah

Kalau saya dulu di sekolah masih diajarkan guru-guru permainan rakyat, sekarang agak jarang. Mungkin nggak pernah lagi. Makanya, yang perlu kita lakukan bagaimana menyelamatkan dan melestarikan permainan rakyat. Ini bukan berarti kita anti permainan modern.

Kita berharap, di sekolah sekarang ini, dari SD-SMA sudah ada mata pelajaran muatan lokal, budaya Melayu. Nah, disitu, bisa dimasukkan permainan rakyat. Salah satu aspek dari materi itu adalah tentang permainan rakyat. Saya rasa, ini salah satu cara efektif, harus melalui dunia pendidikan. Selain itu, adaptasi (games) teknologi (, jadi kontennya (isi) tradisional, tapi dikemas dalam bentuk modern